Rabu, 04 November 2009

Mengukur Keadaan Ekonomi Masyarakat

Dalam rangka mengurangi beban hidup masyarakat golongan bawah, pemerintah berencana untuk menjalankan berbagai program bantuan untuk kalangan tersebut. Apakah bantuan tersebut memang diperlukan, dan kalangan masyarakat manakah yang perlu didahulukan ?

Harga komoditas pangan mengalami kenaikan yang cukup signfikan pada awal tahun ini. Keadaan ini sudah barang tentu membebani keadaan ekonomi sebagian besar masyarakat kita. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam waktu dekat bisa dipastikan akan semakin menambah beban hidup kalangan masyarakat tersebut.


Untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari rencana kenaikan harga BBM, pemerintah sedang menyusun program yang secara umum ditujukan terutama bagi mereka yang berada di kalangan berpendapatan terbawah.

Dalam pemberitaan media disebutkan pemerintah menyiapkan program kompensasi dengan total anggaran mencapai 84 triliun rupiah. Sekitar 24 triliun dari jumlah tersebut dialokasikan sebagai dana program kompensasi tambahan yang berbentuk subsidi minyak goreng – kedelai dan bantuan langsung tunai (BLT). Khusus untuk BLT, anggaran yang dialokasikan pemerintah berkisar antara 11 – 13 triliun rupiah.

Namun, tidak sedikit pendapat kontra yang muncul berkaitan dengan rencana pemerintah membagikan BLT. Beberapa alasan diantaranya adalah bantuan ini tidak memberdayakan dan tidak tepat sasaran.

Apakah masyarakat bawah benar-benar membutuhkan bantuan pemerintah ?

Masyarakat Jawa dan Luar Jawa

Untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan perekonomian masyarakat, Danareksa Research Institute (DRI) melakukan survei kepercayaan konsumen. Survei tersebut dilakukan setiap bulan di enam propinsi di Indonesia (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan). Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka langsung. Sampel dipilih secara acak di kota, pinggir kota, maupun wilayah pedesaan di enam propinsi teresebut.

Dari hasil survei disusun Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang menggambarkan keadaan ekonomi masyarakat. IKK dapat pula dipecah berdasarkan wilayah tempat tinggal, tingkat pendapatan, jumlah pengeluaran rumah tangga responden, maupun kombinasi dari aspek – aspek tersebut.

IKK terus bergerak dalam tren yang menurun sejak akhir 2007. Pada bulan April 2008, IKK berada di level 75.0. Ini merupakan level terendah IKK sejak bulan November 2005. Penurunan nilai terendah IKK sepanjang sejarah survei dilakukan (sejak 1999) terjadi pada bulan Oktober dan November 2005. Ini berarti, IKK pada bulan April 2008 merupakan level terendah ketiga sejak tahun 1999. Hal ini menunjukkan tekanan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat akibat kenaikan harga yang berlangsung akhir-akhir ini, nyaris setara dengan tekanan yang disebabkan oleh kenaikan BBM pada bulan Oktober 2005 yang lalu.

Sementara itu, berdasarkan daerah (Jawa dan luar Jawa) pergerakan IKK menunjukkan bahwa masyarakat di luar Jawa lebih cepat pulih dari dampak kenaikan harga BBM di bulan Oktober 2005. Masyarakat luar Jawa pun tampaknya lebih tahan terhadap dampak negatif dari kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini terlihat dari lebih cepatnya kenaikan IKK masyarakat di luar Jawa dibandingkan dengan IKK masyarakat di pulau Jawa. Pasca kenaikan harga BBM Oktorber 2005 IKK luar Jawa bahkan sempat naik hingga mencapai level 97.6 pada bulan Agustus 2006, atau hampir menyentuh level psikologis 100 (Gambar 1). Hal tersebut memberi indikasi bahwa masyarakat di luar Jawa dapat lebih cepat menyesuaikan diri terhadap tekanan kenaikan harga dibandingkan dengan mereka yang hidup di Jawa. Kenaikan harga komoditi akhir – akhir ini mungkin memberikan keuntungan tersendiri bagi mereka yang hidup di luar Jawa, yang pada akhirnya mengurangi tekanan ekonomi sebagai akibat dari kenaikan harga – harga kebutuhan lainnya.

Berdasarkan tingkat pengeluaran, mereka yang memiliki pengeluaran di antara 500,000 rupiah – 1,500,000 rupiah per bulan tampak sama tertekannya dengan mereka yang memiliki tingkat pengeluaran di bawahnya. Hal ini terlihat dari IKK dari kedua golongan tersebut yang bergerak hampir selalu beriringan (Gambar 2). Artinya, rentang kalangan yang semakin sensitif terhadap naik turunnya kondisi perekonomian sepertinya semakin lebar.

Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa mereka yang memiliki pengeluaran di atas 1,500,000 per bulan pada mulanya memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap tekanan kenaikan harga yang terjadi. Namun, pada saat kenaikan harga terjadi terus menerus (kurang lebih mulai akhir 2007 sampai saat ini), kalangan teratas ini pun menjadi semakin sensitif terhadap gejolak yang terjadi. Hal ini terlihat dari jatuhnya IKK pada bulan April untuk golongan masyarakat ini ke level yang sama dengan masyarakat dengan tingkat pengeluaran di bawahnya.

Penduduk pedesaan lebih terpukul dari penduduk perkotaan ?

Untuk penduduk dengan tingkat pengeluaran di antara 500,000 – 1,500,000 per bulan, sepertinya mereka yang hidup di pedesaan sama sensitifnya (terhadap naik turunnya kondisi perekonomian) dengan mereka yang hidup di perkotaan. IKK penduduk desa dan kota untuk masyarakat dengan tingkat penghasilan tersebut terlihat bergerak dalam level yang relatif sama dan cenderung menurun akhir-akhir ini (Gambar 3). Artinya, kedua kalangan tersebut merasakan tekanan yang hampir sama.

Hal yang agak berbeda terlihat pada masyarakat dengan pengeluaran sampai dengan 500,000 per bulan (Gambar 4). Pergerakan IKK di wilayah desa dan perkotaan menunjukkan bahwa sensitifitas kalangan masyarakat golongan ini relatif sama antara di desa dan di kota. Namun, pada waktu – waktu tertentu, persepsi masyarakat pedesaan dari kalangan ini lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hidup di perkotaan. Seperti diperlihatkan oleh hasil survei bulan April 2008 lalu, IKK masyarakat miskin pedesaan mengalami sedikit peningkatan, di saat IKK masyarakat miskin di perkotaan masih mengalami penurunan signifikan. Kenaikan ini terutama berhubungan dengan terjadinya musim panen beras di bulan Maret-April lalu. Musim panen beras yang relatif baik pada tahun ini tampaknya memberi tambahan pendapatan bagi kalangan miskin di pedesaan. Hal ini kemungkinan besar tidak dapat dinikmati oleh masyarakat miskin perkotaan, karena sebagian besar pekerjaannya tidak berhubungan dengan sektor pertanian.

Perlu prioritas

Penurunan yang terjadi pada IKK menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, terutama akibat kenaikan harga bahan makanan yang telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Masyarakat yang merasakan dampak negatif ini pun semakin lama semakin meluas. Melihat keterbatasan yang dihadapi pemerintah, rasanya sulit program kompensasi yang direncanakan akan mampu menjangkau semua kalangan sekaligus. Mau tidak mau, pemerintah perlu membuat prioritas dengan mendahulukan mereka yang benar–benar terkena pukulan terberat akibat kenaikan harga – harga yang sudah terjadi, dan akan semakin terpukul oleh kenaikan harga BBM.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa prioritas pertama yang dapat diambil adalah dengan mendahulukan program kompensasi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pulau Jawa. Masyarakat miskin perkotaan tampaknya harus didahulukan dari masyarakat miskin pedesaan. Setelah itu, masyarakat miskin pedesaan pun harus diperhatikan, mengingat mereka pun termasuk kalangan yang paling terpukul oleh kenaikan harga yang telah terjadi cukup lama.

Walaupun demikian, pemerintah sepatutnya tidak melupakan kalangan menengah yang tidak memperoleh kompensasi langsung dari rencana kenaikan harga BBM. Mengendalikan inflasi agar suku bunga pinjaman tetap rendah serta menjaga dan mendorong iklim investasi yang kondusif di sektor padat kerja akan dapat membantu kalangan menengah yang umumnya beraktivitas di sektor ini.


Indeks Kepercayaan Konsumen Jawa vs Luar Jawa

Indeks Kepercayaan Konsumen Berdasarkan Pengeluaran

Indeks Kepercayaan Konsumen Berdasarkan Pengeluaran

Indeks Kepercayaan Konsumen Berdasarkan Pengeluaran


oleh Bramanian Surendro
dimuat di harian Kompas tanggal 19 Mei 2008

Koperasi Pilar Perekonomian Masyarakat

Keberhasilan suatu usaha sangat ditentukan oleh oleh kemampuan seseorang / sekumpulan orang dalam mengidentifikasi peluang dan tantangan yang dihadapi, tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, faktor sosial dan kekuatan finansial yang dimiliki.
Bila usaha ini dilakukan oleh perorangan maka kelembagaan bukan hal yang penting, sebab dampak maupun hasil yang dicapai berorientasi pada kepentingan individu. Kelembagaan menjadi sangat penting bila usaha tersebut dilakukan bersama oleh banyak orang dan berdampak luas pada sumber daya alam serta lingkungan social, yang tentunya memerlukan sebuah sistem pengaturan dalam membangun tata nilai bersama. Sebagai contoh, diwilayah kabupaten Konawe Selatan telah didirikan sebuah lembaga bisnis milik masyarakat yang bernama Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL).
Koperasi ini didirikan pada tanggal 18 maret 2004, dengan badan hukum No. 518.15/DKK/18/III/2004. Inisiatif awal pendirian Koperasi ini adalah untuk menyambut program Social Forestry dengan wilayah kelola yang telah dicadangkan oleh Menteri Kehutanan RI, seluas 38.959 Ha, pada kawasan hutan produksi Kabupaten Konawe Selatan (sesuai surat Menteri Kehutanan No.S.405/Menhut-VII/2004, tanggal 5 Oktober 2004), namun hingga kini izin definitif dari Departemen Kehutanan belum turun, sehingga Koperasi hutan Jaya Lestari melakukan kegiatan pengelolaannya pada hutan milik masyarakat.
Model dan system kerja lembaga ini tergolong unik, sebab SOP dan aturan lainnya disusun berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang dipadukan dengan kearifan lokal yang telah berakar dimasyarakat Konawe Selatan dan dari hasil analisis kesesuaian karakteristik yang terdiri dari : - karakteristik sumber daya alam - karakteristik individu - karakteristik komunitas - karakteristik aturan pendukung (UU,PP, PerMen & PERDA) Mengapa Harus Koperasi ? Kelompok Social Forestry Konawe Selatan beranggotakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Dengan jumlah anggota yang demikian besar (8.543 KK), maka Koperasi menjadi pilihan tepat bagi anggota kelompok sebagai badan usaha yang mewadahi mereka.
Hal ini dilakukan dengan petimbangan bahwa konsep dasar koperasi kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan model pengambilan keputusan berdasarkan asas musyawarah & mufakat, dan pembagian SHU menggunakan asas pemerataan berdasarkan jasa anggota. Hubungan Kerja Koperasi Hutan Jaya Lestari Dengan Para Pihak (Hubungan Kerja LKAK) Kegiatan apa yang dilakukan Koperasi Hutan jaya Lestari ? Koperasi Hutan Jaya Lestari mempunyai 8 jenis usaha antara lain :
1. Pengelolaan dan pemasaran hasil Hutan
2. Pengelolaan dan pemasaran hasil pertanian
3. Pengelolaan dan pemasaran hasil perkebunan
4. Pengelolaan dan pemasaran hasil Perikanan
5. Pengadaan sarana produksi pertanian
6. Unit simpan pinjam
7. Industry penggergajian kayu
8. Jasa Konstruksi,telekomunikasi dan trsnportasi.
Unsur lain yang terlibat !
Dalam membangun Koperasi Hutan Jaya Lestari, cukup banyak unsur yang terlibat, baik secara langsung maupun tak langsung, antara lain :
1. Jaringan untuk hutan (JAUH-Sultra)
Sebuah konsorsium LSM pemerhati lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, yang mendampingi sejak awal inisiatif pendirian Koperasi hingga kini, secara umum kegiatan JAUH-Sultra adalah :
- Memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan
- Mendampingi & megawasi pelaksanaan operasional Koperasi Hutan Jaya Lestari
- Memfasilitasi proses belajar bersama antar pihak dalam program Social Forestry
- Membangun koordinasi, komunikasi dan kerjasama antar pihak baik di Kabupaten, Propinsi, Nasional maupun International.
- Memfasilitasi Proses Sertifikasi Ekolabel
2. Tropical Forest Trust (TFT)
Sebuah lembaga non profit yang mendampingi tata usaha kayu dalam proses pengelolaan hutan berkelanjutan, secara umum kegiatan TFT adalah :
- Memberi pelatihan pengelolaan hutan lestari
- Memfasiliatasi proses Sertifikasi Ekolabel FSC
- Memfasilitasi pemasaran hasil hutan dan penyiapan sarana pendukung lainnya
3. Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten
Dalam pengelolaan hasil hutan tentu tak lepas dari Instansi Kehutanan baik level propinsi maupun kabupaten, secara umum dukungan instansi ini adalah :
- Memfasilitasi percepatan perolehan izin/surat arahan pencadangan lokasi SF dari Menteri Kehutanan
- Melakukan fasilitasi dan Sosialisasi Program Social Forestry bersama tim dari Pokja Social Forestry.
- Melakukan konsultasi, koordinasi, konsolidasi antar instansi terkait di tingkat Propinsi Sulawesi Tenggara.
- Melakukan dukungan program tindak lanjut
4. BPDAS – Sampara
Sebagai instansi konservasi BPDAS-Sampara telah banyak memberikan dukungan a.l :
- Memfasilitasi pengadaan bibit MPTS dan benih jati
- Memberi dukungan finansial pada kegiatan rehabilitasi yang dilakukan KHJL
- Memfasilitasi persemaian partisipatif masyarakat Social Forestry
5. Dan Lembaga-lembaga pendukung lain seperti :
- MFP
-DFID
- JICA
- Telapak
- FWI

PERCEPATAN PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN BER BASIS AGRIBISNIS

Program terpadu percepatan pembangunan ekonomi masyarakat perdesaan berbasis agribisnis melalui koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) merupakan hasil kesepakatan enam menteri. Masing-masing adalah Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Menteri Negara Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah.

Program terpadu ini merupakan serangkaian kegiatan percepatan penumbuhan dan pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan di bidang agribisnis khususnya pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan melalui pengembangan KUMKM dan peningkatan keterampilan tenaga kerja yang pelaksanaannya dilakukan secara konsepsional, terintegrasi dan berkelanjutan baik dalam penetapan lokasi, penggunaan sumber daya maupun waktu pelaksanaannya

Tujuan dari terpadu ini adalah meningkatkan kesejahteraan dan daya beli masyarakat perdesaan melalui KUMKM, mempercepat pembangunan perdesaan, meningkatkan dan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat daerah perdesaan, serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari.

Program aksi yang dicanangkan terdiri dari dua bagian, masing-masing adalah program jangka pendek dan program jangka menengah. Program Jangka Pendek (tahun 2005) memuat kegiatan-kegiatan dari masing-masing instansi yang anggarannya telah tersedia dalam anggaran tahun 2005 pada suatu lokasi yang dapat dipadukan menjadi satu program terpadu.

Sedangkan program jangka menengah (2006-2009) disusun secara bersama-sama dengan memadukan masukan dari masing-masing instansi serta dikoordinasikan dengan pihak-pihak lain seperti Bappenas, Departemen Keuangan, dan komisi terkait di DPR-RI. Lokasi prioritas adalah daerah perbatasan, tertinggal, dan daerah miskin.

Peninjauan lapangan
Program aksi yang telah dicanangkan untuk tahun 2005 adalah pemberdayaan masyarakat dan wilayah pesisir di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Untuk itu, pada tanggal 29 Agustus sampai 1 September 2005, dilakukan kunjungan lapangan untuk mengetahui lebih dekat permasalahan yang dihadapi wilayah tersebut, khususnya dengan akan ditinggalkannya Pulau Gebe oleh PT. ANTAM Tbk.

Dari hasil peninjauan lapangan, diperoleh beberapa hal mendasar apabila daerah tersebut akan dikembangkan menjadi daerah perikanan terpadu. Pertama, permasalahan yang sangat mendesak untuk ditanggulangi antara lain kendala ketersediaan BBM serta adanya illegal fishing oleh kapal-kapal Filipina yang beroperasi di perairan teritoral Indonesia.

Harga BBM di daerah ini cukup tinggi, yakni mencapai Rp 5.000 per liter. Oleh karena itu, diharapkan Departemen Kelautan dan Perikanan dapat memfasilitasi pengadaan BBM dengan harga subsidi atau paling tidak harga full konsumen. Menurut informasi yang disampaikan Bupati Halmahera Tengah, depo Pertamina yang memungkinkan dapat mensuplai kebutuhan BBM untuk Pulau Gebe berasal dari depo Pertamina di Sorong.

Kedua, untuk mendukung rencana usaha perikanan terpadu di Pulau Gebe, Departemen Kelautan dan Perikanan telah membangun Pusat Pendaratan Ikan Pulau Gebe melalui dana dekonsentrasi pada Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Utara. Untuk makin mendukung rencana pengembangan bisnis perikanan terpadu tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan dapat membantu pengadaan kapal penangkap ikan untuk digunakan nelayan.

Ketiga, terbatasnya kapal pengangkut ikan beku menyulitkan pengiriman ikan keluar Pulau Gebe dan juga menyulitkan pengadaan barang atau bahan produksi (karton box, plastik pembungkus, suku cadang, dan Iain-lain). Oleh karena itu, Departemen Perhubungan diharapkan dapat menyediakan membuka jalur transportasi laut, dan atau bersama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dapat menyediakan kapal perintis khususnya untuk mengangkut hasil laut yang dilengkapi dengan Cold Storage yang secara reguler singgah di sentra perikanan, termasuk di Pulau Gebe.
Sumber : Gema Mina Ditjen P. Tangkap

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa


Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, gonjang-ganjing mengenai peningkatan taraf hidup petani di pedesaan selalu mengalami dinamika. Apapun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani, seringkali menuai kritikan dan kontroversi dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang mengatakan petani sebagai "wong cilik" yang kehidupannya semakin tertindas dan harus menjadi tumbal atas kebijakan perekonomian pemerintah. Kita lihat kembali bagaimana kebijakan penentuan harga dasar gabah, pengurangan subsidi pupuk, mahalnya harga bahan bakar dan baru-baru ini kebijakan import yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan petani.
Disisi lain, pembangunan nasional juga menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Banyak peneliti yang sudah membuktikan bahwa pembangunan semakin memperbesar jurang antara kota dan desa. Sangat disadari, negara berkembang seperti Indonesia mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain seperti sektor pertanian dikorbankan yang akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota. Hal ini juga sesuai dengan hipotesa Kuznets, bahwa pada tahap pertumbuhan awal pertumbuhan diikuti dengan pemerataan yang buruk dan setelah masuk pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. (Todaro, 2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan tersebut antara lain karena perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur investasi, dan kebijakan (Arndt, 1988).

Dewasa ini, telah banyak para ahli pembangunan masyarakat pedesaan yang mengangkat permasalahan ini ke permukaan. Karena sesungguhnya yang terjadi petani tetap miskin, sebab persoalan yang berkaitan dengan produksi seperti kapasitas sumber daya manusia, modal, dan kebijakan tetap sama dari tahun ke tahun walaupun bentuknya berbeda. Studi mengenai kemiskinan pedesaan oleh Sarman dan Sajogyo (2000) menunjukkan bahwa untuk daerah pedesaan di Sulteng mencapai 48,08% sementara untuk perkotaan sekitar 12,24%. Studi ini menggunakan pendekatan jisam (kajian bersama) sehingga kriteria kemiskinan sangat lokalistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan kepemilikan masyarakat.

Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek.

Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi selanjutnya proyek-proyek mulai dilengkapi dengan aspek lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas lapang, melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atau dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.

Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.

Telaah lebih lanjut paper ini adalah bagaimanakah peran pemberdayaan masyarakat desa dalam program-program pemerintah untuk peningkatan pendapatan. Kemudian seberapa besarkah kegiatan ekonomi masyarakat desa mendukung perekonomian nasional. Topik tersebut masih relevan untuk dibahas bagi agenda pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, mengingat keberadaan masyarakat desa dari sisi kualitas dan kuantitas menjadi peluang dan tantangan.

Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan

Salah satu fondasi utama perekonomian masyarakat pedesaan di Indonesia adalah sektor pertanian. Tetapi keterbatasan lahan dan keterbatasan pengetahuan tentang teknik pertanian menghambat kemampuan produksi para petani untuk memperoleh price value yang memadai untuk memperoleh surplus pendapatan dari sektor pertanian. Apabila surplus tersebut tidak didapat maka harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sulit diwujudkan.

Price value dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kuantitas dan juga kualitas produksi. Dalam kontek ini, untuk meningkatkan price value sektor pertanian dapat dilakukan dengan melakukan inovasi berorientasi pada produk dan inovasi berorientasi pada proses. Inovasi produk dapat dilakukan dengan beralih ke komoditi pertanian yang memiliki nilai jual (kualitas) yang lebih tinggi di pasaran. Inovasi proses dapat dilakukan dengan mengenalkan teknik bertani untuk dapat meningkatkan hasil produksi (kuantitas) dan juga mengajarkan teknik pengolahan hasil pertanian (kualitas).

Langkah berikutnya adalah pengembangan pasar. Tahap tersebut diperlukan untuk membangun rantai perekonomian daerah tersebut ke dalam rantai ekonomi yang lebih besar. Dengan demikian daerah tersebut dapat menarik energi dari luar sebagai penggerak pertumbuhan di daerah tersebut. Strategi pengembangan pasar yang merupakan bagian terintegrasi dari program pengembangan ekonomi masayarakat pedesaan tidak bisa dipisahkan.

Selain untuk memastikan bahwa komoditi yang dihasilkan dapat diserap dengan baik oleh pasar, keuntungan dari pengembangan pasar adalah untuk memperpendek rantai distribusi. Rantai distribusi yang pendek dapat memberikan kesempatan bagi para petani untuk memperkecil opportunity loss yang dapat hilang apabila entitas yang terlibat di rantai distribusi tersebut terlalu banyak. Bagian seseorang dari pembagian satu keranjang mangga untuk berdua tentunya akan lebih besar daripada bagian seseorang apabila satu keranjang mangga yang sama dibagi untuk berlima.

Kesimpulan, fokus paling mendasar dalam pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan adalah bagaimana meningkatkan price value dan bagaimana melakukan pengembangan pasar. Dengan langkah terintegrasi tersebut maka surplus pertanian baru dapat dicapai. Dengan surplus tersebut maka para petani masyarakat pedesaan baru memiliki energi untuk melakukan perubahan hidup secara mandiri di lingkungan yang juga berubah sangat dinamis.

Usaha Kecil dan Menengah

Usaha Kecil di Indonesia mempunyai cakupan yang luas meliputi seluruh sektor kegiatan ekonomi, sementara yang lazim kita jumpai di negara laian hanya membatasi pada industri kecil dan sebagian lagi memasukkan kegiatan jasa terutama kegiatan perdagangan eceran (dagang kecil). Definisi Usaha Kecil di Indonesia dikaitkan dengan ketentuan dalam UU No 9/1995 tentang usaha kecil, di mana usaha kecil adalah unit usaha yang tidak merupakn cabang usaha besar dan memiliki penjualan di bawah Rp. 1 milyar setahaun dan aset di luar tanah dan bangunan dibawah Rp. 200 juta,-. Sedangkan defininsi usaha menengah baru kemudian dikeluarkan melalui suatu Instruksi Presiden No 11/1999, yang menngolongkan usaha menengah hanya atas dasar kriteria aset di luar tanah dan bangunan antara Rp. 200 juta,- hingga Rp. 10 milyar. Disamping itu kita juga memiliki definisi industri sedang dan besar yang ditetapkan atas dasar jumlah tenaga kerja. Sementara perbankan menggunakan pengelompokan tersendiri sesuai dengan besaran kredit yang diberikan.

· Peran Usaha Kecil dan Menengah Dalam Perekonomian Indonesia

Keberadaan usaha kecil di tanah air kita memang mewakili hampir seluruh unit usaha di berbagai sektor ekonomi yang hidup dalam perekonomian kita, karena jumlahnya yang amat besar. Sampai saat ini usaha kecil mewakili sekitar 99,85 % dari jumlah unit usaha yang ada, sedangkan usaha menengah sebesar 0,14% saja, sehingga usaha besar hanya merupakan 0,01%. Dengan demikian corak perekonomian kita ditinjau dari subyek hukum pelaku usaha adalah ekonomi rakyat yang terdiri dari usaha kecil di berbagi sektor, terutama sektor pertanian dan perdagangan maupun jasa serta industri pengolahan.

Ditinjau dari posisi dalam mendukung tiga tujuan makro diatas, maka usaha kecil menempati posisi sangat strategis karena menyumbang lebih dari 88% penyerapan tenaga kerja. Posisi sangat penting untutk menjamin stabilitas makro, terutama stabilitas sosial yang akhir-akhir ini menjadi sangat kritis sebagai penentu kelangsungan pertumbuhan kita dan investasi baru untuk melangsungkan pertumbuhan. Dari data sumbangan sektorsektor yang dominan digerakkan ekonomi rakyat, maka jika masalah mendesak kita adalah kesempatan kerja seharusnya secara sungguh-sungguh investasi di bidang itu untuk memelihara pertumbuhan dan sekaligus menciptakan kesempatan kerja, serta memperkuat posisi ekspor kita di masa depan.

Di masa krisis usaha kecil dan menengah dinilai masih mampu bertahan, karena fleksibilitasnya dan ketidak tergantungannnya pada pembiayaan melalui kredit perbankan. Semasa krisis walaupun banyak UKM yang mengalami kesulitan, tetapi juga masih cukup banyak yang berkembang. Hal ini juga terlihat dari adanya perbaikan posisi usaha kecil dan menengah dalam struktur pembentukan PDB pada saat dan setelah krisis dibanding masa sebelum krisis di mana pangsa UKM dalam pembentukan PDB mengalami peningkatan (tabel I). Namun demikian pada akhir-akhir ini (tahun 2000) sesuai perkiraan BPS posisi usaha kecil kembali terancam, karena bangkitnya kembali usaha besar meskipun masih secara perlahan. Peringatan dini ini memerlukan pencermatan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kekacauan akibat ketimpangan yang tidak dapat ditolelir lagi di masa datang. Salah satu usaha yang harus dikerjakan secara serius adalah dengan memusatkan investasi, paling tidak investasi yang komponen dorongan pemerintahnya cukup tinggi pada sektor-sektor yang langsung terkait dengan peningkatan nilai tambah bagi usaha kecil. Sektor kegiatan yang berkaitan dengan perkebunan, perikanan dan industri pengolahan adalah kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan penciptaan kekuatan awal bagi usaha ekonomi rakyat untuk mendapatkan pangkalan untuk bergerak di usaha skala besar bernilai tambah tinggi. Hal ini juga akan membangun kesinambungan usaha ekonomi rakyat di sektor primer "yang lebih tradisional" menjangkau sektor pengolahan yang "modern".

Dari sisi sumbangan terhadap ekspor, masih terlihat belum mampunya usaha kecil mengimbangi pengusaha besar menembus pasar. Usaha kecil dan menengah hanya menyumbang sekitar 15% dari total ekspor kita. Penyumbang terbesar ekspor kita adalah industri pengolahan, namun usaha kecil dan menengah hanya mampu menyumbang kurang dari seperlima ekspor usaha besar, meskipun mungkin barang ekspor tersebut berasal dari usaha kecil. Menurut Tambunan (1999) keunggulan UKM dalam ekspor karena mengandalkan pada keahlian tangan (hand made), seperti pada kerajinan perhiasan dan ukiran kayu. Dan jenis kegiatan semacam ini lebih "labor intensive" di bidang usaha besar yang cenderung bersifat "capital intensive" 11. Prof. Urata (2000) melihat sejarah panjang keberadaan UKM di Indonesia dengan peran utama yaitu : Pertama, pemain utama dalam kegiatan ekonomi di Indonesai, Kedua, penyedia kesempatan kerja yang menaik, Ketiga, pemain penting dalam pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan masyarakat, Keempat, pencipta pasar dan inovasi baru melalui fleksibilitas dan sentivitas UKM serta keterkaitan dinamis antar kegiatan perusahaan, dan Kelima, pemain dalam perbaikan neraca pembayaran internasional melalui peran yang semakin nyata dalam komposisi ekspor dan penghematan devisa melalui produk-produk subtitusi impor yang dikaitkan oleh UKM. Lebih jauh Urata memperlihatkan pentingnya industri pengolahan dan jasa perdagangan sebagai fokus perhatian untuk pemulihan ekonomi.

Ditinjau dari sudut pembiayaan memang sebagian besar usaha kecil lebih mengandalkan modal sendiri, atau hutang dagang yang dibangun atas dasar saling kepercayaan diantara mereka. Pembiayaan dari lembaga keuangan memang sebagian terbesar bersumber dari perbankan terutama kredit komersial (hampir 80%). Dengan keluarnya UU 23/1999 tentang Bank Indonesia dan rasionalis sistem perkreditan bagi program-program sektor maka kredit bagi UKM pada dasarnya akan tersedia melalui kredit komersial perbankan. Namun untuk usaha mikro dan usaha kecil peranan lembaga keuangan mikro dan koperasi (USP/KSP) akan menjadi semakin penting. Sampai dengan tahun 1999 USP/KSP telah melepaskan pinjaman sekitar 5,3 triliyun rupiah dan menjangkau 11 juta nasabah. Dengan demikian dari segi lembaga yang melayani usaha mikro dan usaha kecil secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat jenis : (i) Lembaga kredit mikro (untuk usaha mikro dan informal); (ii) koperasi (USP/KSP) untuk produksi jasa dan komersial ; (iii) kredit mikro oleh BRI UDES dan BPR ; dan (iv) kredit kecil oleh bank.

· Contoh UKM

Sejumlah usaha kecil menengah (UKM) di kota Bekasi, Jawa Barat terpaksa menghentikan kegiatan produksi akibat menurunnya daya beli konsumen di samping produk yang kalah bersaing di pasaran. Jika masalah ini tidak segera ditanggulangi bisa terjadi kebangkrutan massal di sektor UKM sebagai dampak krisis ekonomi global. Jumlah mereka mencapai puluhan pelaku UKM dengan mayoritas sebagai usaha makanan olahan, bordiran dan boneka terpaksa menghentikan kegiatan opersional produksi. Faktor penyebabnya gara-gara krisis ekonomi global belum berakhir sehingga mereka belum bisa kembali berproduksi. Pihak dinas perindustrian dan perdagangan kota Bekasi akan mengkaji penghentian produksi UKM tersebut.Bila persoalan terkait permodalan akan dicarikan solusi.Jika menyangkut mutudiperlukan pelatihan. Namun demikian masih dianggap wajar bila dari 84.000u UKM di kota Bekasi ada beberapa yang tidak lagi berproduksi. Sebab usaha skala besar yang sudah ekspor sekalipun cukup banyak yang mengurangi aktivitasnya bahkan berhenti beroperasi.

UKM di kota Bekasi cukup banyak menyerap tenaga kerja dan penopang pertumbuhan ekonomi di daerah. Jumlah UKM terus meningkat secara signifikan atau mencapai lima sampai tujuh persen per tahun hingga tahun 2008. Pengelola UKM di kota Bekasi saat ini tengah melakukan pendataan menyangkut jenis usaha, volume, aset, peralatan, omset, pasar, kualitas SDM pekerja dan pemilik usaha.Jika formulir yang digulirkan diisi dan dikembalikan kepada petugas akan menjadi dasar pendataan yang lebih akurat dalam mengambil kebijakan mengantisipasi kebangkrutan massal di sektor UKM. Yang akan dilakukan amra lain melakukan pembekalan dalam bentuk pelatihan dan pembinaan yang diinginkan UKM. Sayangnya data yang tersedia di pemerintah kota Bekasi tentang pertumbuhan UKM belum lengkap.Tidak tersedia data lengkap dari pelaku usaha yang tergolong kecil yang kemudian berkembang jadi menengah sehingga menjadi kelemahan dalam mengambil kebijakan yang tepat. Karena itu, kebijakan yang didiambil masih dalam bentuk asumsi belaka.

Mereka bahkan tidak tahu be-rapa jumlah pelaku usaha sejak dari skala menengah berubah menjadi perusahaan besar atau UKM yang bangkrut akibat salah manajemen. Dinas Perindag memperkirakan, aset sekitar 84.000 UKM di kota Bekasi mencapai Rp 900 miliar lebih dengan penjualan per tahun mencapai Rp 2 triliun dengan keuntungan sebesar Rp 300 miliar. Berarti cukup besar dalam menyerap tenaga kerja jika UKM tidak gulung tikar sebagai dampak krisis ekomomi global yang menerpa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, India, China dan Singapura.

Geliat Usaha Mikro Kecil Menengah Sebagai Motor Perekonomian Nasional Tahan Krisis Berkat Koalisi Strategis

JURNAL NASIONAL. Selama periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, salah satupencapaian terpenting pemerintahan terjadi di sektorusaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Bagaimana potret industri UMKM ke depan?

Tidak han"a tumbuh signifikan secara bisnis, namun, Kementerian Negera Kopera-rasi dan UKM juga sukses menggerakkan industri UMKM dan mele-satkan industri kreatif. Alhasil, industri ini menjadi sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas perekonomian nasional, meski Indonesia sempat diguncang krisis.

Tak bisa dipungkiri, UMKM dan sektor ekonomi kreatif berbasis budaya telah menjadi gelombang keempat dalam perkembangan ekonomi, setelah berlangsungnya era ekonomi pertanian, era ekonomi industri dan kemudian era ekonomi informasi. .Artinya, industri UMKM makin mampu memberikan kontribusi signifikan dan ikut menjadi penentu dan penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Dibawah kepemimpinan Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali yang dibantu para deputi yang bekerja secara profesional dan proporsional, daya tahan pelaku UMKM saat menghadapi krisis makin baik.

Bahkan, mampu mengalahkan pebisnis besar. UMKM makin tahan banting dan tetap optimistis di tengah krisis. lihat saja, ketika terjadi krisis global di medio 2008, saat pebisnis besar goyah, dan gelisah, pelaku UKMKM tetap liat bergerak. Krisis, bagi pelaku UMKM justru jadi pemicu kreativitas dalam berbisnis.

Memang, ada beberapa industri yang kesulitan bertahan. Namun, kondisi itu terjadi bukan disebabkan mandegnya kreativitas. Ada hambatan lain yang menyulitkan UMKM sulit ekspansi, antara lain karena terganjal pembiayaan dari bank. Meski begitu, secara umum, sektor UMKM, tumbuh malari baik. Beberapa hambatan yang menyebabkan sulitnya UMKM berkembang sudah diatasi.

Dan, ini memang menjadi komitmen SBY-JK serta Mennegkop UKM Suryadhama Ali untuk menghilangkan hambatan yang menyulitkan pertumbuhan UMKM. Misalnya, birokrasi ang sangat menyulitkan UMKM mendapatkan modal yang memadai, kini telah digairahkan.

Yakni melalui pemberian rangsangan sesuai kemampuan APBN. Program ini berhasil dilaksanakan. Salah satu rangsangan itu, misalnya, pemberian stimulus fiskal bidang infrastruktur. Stimulus ini sukses menggerakkan UMKM dan menjamurkan industri kreatif.lihat saja, istilah ekonomi kreatif atau yang juga disebut industri kreatif, yang merupakan varian industri UMKM, semakin banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk oleh pemerintah, pemerintah daerah dan dunia usaha.

Menurut Deputi Menteri Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan UKM Ikhwan Asrin, dalam memasuki era ekonomi kreatif ini, pemerintah telah memetakan 14 sub sektor industri yang tercakup dalam kategori kreatif di antaranya kegiatan arsitektur, desain, kerajinan, fashion dan lain-lain.

"Kelebihan dari industri kreatif adalah pada karakteristiknya yang kuat, yang ditimbulkan dari ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan para pelakunya, sehingga hasilnya selalu segar dan terbarukan (sustainable)," terang Ikhwan di kantornya, kepada Jurnal Nasional. Ikhwan menyebut, stimulus fiskal bidang infrastruktur yang dikucurkan adalah sebesar Rp 100 miliar.

Dana ini digunakan untuk revitalisasi 91 pasar tradisional dan 31 kawasan pedagang kaki lima di 87 kabupatenAota. Mengapa perlu pembenahan infrastruktur? Ikhwan berargumen, sekarang ini, pola berbelanja masyarakat mengalami perubahan. Mereka juga buruh kenyamanan saat berbelanja, tidak hanya harga yang terjangkau.

Selain itu, revitalisasi tersebut diharapkan akan menghapus kesan kumuh yang kerap muncul di pasar tradisional atau kawasan PKL. Menurut dia, sebaran pasar tradisional dan kawasan PKL yang akan dibenahi itu mencakup 32 provinsi, kecuali DKI Jakarta. Setiap bupati atau wali kota harus mengajukan permohonan pasar atau kawasan yang akan ditata tersebut.

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.

Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.


Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar

Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.

Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.

Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.

Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.

Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.

Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).

Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.

Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.


Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.

Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.


Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT

Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).

Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).

Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.

Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.

Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).



Fredrik Benu
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang

Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA

Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.

Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.

Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.

Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.

Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Selama lima bulan pertama tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berfluktuasi. Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar Rp9200,- dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp8000,- dalam bulan April hingga pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp10.000,- sejak minggu ketiga bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait dengan kondisi sosial politik yang bergejolak. Faktor non-ekonomi ini diperkirakan tetap berpengaruh besar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan mendatang. (grafik 2).

alt


Upaya untuk menstabilkan nilai rupiah pada tingkat yang mencerminkan kekuatan perekonomian Indonesia merupakan salah satu sasaran strategi pemerintah yang ditegaskan kembali dalam Memorandum Tambahan bulan April 1998. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah melalui pengetatan jumlah uang beredar. Melalui upaya ini juga diharapkan inflasi akan turun.

Perkembangan Moneter

Pertumbuhan tahunan likuiditas perekonomian (M2) dalam triwulan pertama tahun 1998 mencapai rata-rata di atas 50 persen. Interpretasi kenaikan likuiditas ini harus dilakukan dengan cermat karena tidak mencerminkan adanya kondisi ekonomi yang sedang melesu. Jika diamati komponen deposito berjangka dalam dollar yang cenderung menurun sejak bulan Agustus 1997, maka merosotnya nilai tukar Rupiah menjadi faktor utama kenaikan likuiditas perekonomian. (grafik 3)

alt

Lonjakan likuiditas perekonomian dalam situasi sektor riil yang lesu menyebabkan dorongan inflasi semakin kuat. Hal ini tercermin dari kenaikan inflasi yang mencapai 33,09 persen dalam periode Januari - April 1998. Dalam rangka menekan inflasi selama tahun 1998, Bank Indonesia telah menyusun program keuangan. Pertumbuhan likuiditas perekonomian direncanakan 16 persen dalam tahun 1998. Target ini akan dicapai melalui pengendalian uang primer (M0), daripada dengan cara membatasi pemberian kredit.

Pengendalian uang primer antara lain dilakukan dengan cara mengaktifkan perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI dipertahankan pada tingkat yang relatif tinggi di atas 20 persen sejak bulan Januari 1998. Suku bunga SBI kemudian ditingkatkan lagi pada tanggal 23 Maret 1998, misalnya SBI 1 bulan dari 22 persen menjadi 45 persen (dengan tingkat bunga efektif tahunan sebesar 55 persen). Pada giliran selanjutnya dengan suku bunga perbankan yang tinggi diharapkan dapat menahan kecenderungan meningkatnya aliran modal keluar.

Selain itu pengendalian uang primer dilakukan dengan mengelola secara berhati-hati aset domestik. Dalam triwulan pertama tahun 1998 uang primer bertambah sekitar Rp 13 triliun. Efek ekspansi terutama berasal dari revaluasi aset luar negeri dan tagihan kepada bank umum. Sedangkan efek kontraksi ditimbulkan melalui operasi pasar terbuka.

Intervensi terhadap pasar valuta asing juga akan dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Skala intervensi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa jumlah cadangan devisa harus berada diatas sasaran bulanan maupun triwulanan. Pada akhir bulan April 1998 posisi cadangan devisa luar negeri bersih Bank Indonesia mencapai 14,3 miliar dollar AS yang berarti meningkat dibanding dengan posisi akhir Maret 1998 sebesar 13,2 miliar dollar AS.


Maret

April

Mei 1)

Uang primer

59.413

61.489

70.262

- uang kartal

45.096

44.820

46.579

- deposit bank di BI

13.270

15.749

22.736

Cadangan devisa bersih di BI *

92.256

100.165

102.841

Aktiva domestik bersih

-30.471

-37.702

-32.579

- tagihan pada pemerintah

-27.065

-27.624

-37.817

- tagihan pada BPPN

87.044

101.826

102.550

- kredit likuiditas

26.228

26.992

17.900

pada BULOG

15.155

15.598

6.403

- operasi pasar terbuka

-30.151

-45.302

-43.261

Tabel 2

* dengan kurs tetap Rp 7.000 per dollar AS

Penetapan sasaran cadangan devisa merupakan salah satu butir kesepakatan dalam Memorandum Tambahan antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Cadangan luar negeri bersih Bank Indonesia bersama-sama dengan aktiva domestik bersih disepakati menjadi indikator kinerja di bidang moneter.

Selain kedua indikator tersebut di atas, tagihan pada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) juga merupakan indikator kinerja yang berkaitan dengan kondisi kesehatan perbankan. Tagihan pada BPPN cenderung meningkat sejak akhir bulan Maret 1998, yaitu dari posisi Rp 87,0 triliun menjadi Rp 102,6 triliun pada minggu ketiga bulan Mei 1998. Hal ini menunjukkan masih cukup besarnya bantuan likuiditas yang diperlukan oleh perbankan yang berada dalam pengawasan BPPN.

Perkembangan Inflasi

Inflasi dalam tahun 1998 diperkirakan akan mencapai tingkat yang tertinggi sejak tahun 1970. Perkiraan ini berdasarkan pencapaian inflasi sebesar 35,07 persen selama periode Januari - Mei 1998. Angka inflasi yang relatif tinggi tercatat sebesar 33,3 persen pada tahun 1974.

Berdasarkan tingkat inflasi dan bobotnya maka kelompok bahan makanan merupakan penyumbang inflasi terbesar selama lima bulan terakhir ini. Dalam kelompok ini tercatat beberapa jenis komoditi yang memberikan sumbangan besar terhadap inflasi, seperti bawang merah, tomat sayur, ikan segar, telur ayam ras, beras, dan minyak goreng. Namun demikian kenaikan harga dalam kelompok ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun.

Kenaikan harga yang terjadi pada kelompok transportasi dan komunikasi kasi sebesar 17,25 persen pada bulan Mei 1998 diperkirakan dapat mendorong laju inflasi yang relatif tinggi pada bulan mendatang. Kenaikan biaya transportasi ini merupakan akibat langsung dari kenaikan harga bahan bakar minyak.


Januari

Februari

Maret

April

Mei

Umum

6,88

12,76

5,49

4,70

5,24

Bahan makanan

10,15

16,07

5,42

6,80

3,90

Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau

5,14

15,95

7,15

7,68

4,00

Perumahan

3,64

10,03

3,50

2,29

4,14

Sandang

12,56

15,62

12,50

4,34

4,53

Kesehatan

8,79

19,93

4,63

5,29

2,40

Pendidikan, rekreasi, dan olahraga

3,72

8,42

2,18

1,50

1,41

Transportasi dan komunikasi

5,84

5,81

1,59

4,94

17,25

Tabel 3

catatan : perhitungan inflasi ini merupakan indeks harga gabungan 44 kota.
Sumber : Biro Pusat Statistik